Sabtu, 14 Maret 2015

Sejarah Bantul

Sebelum pemerintah kabupaten Bantul lahir, daerah wilayah Bantul telah lama menjadi saksi perjalanan sejarah yang panjang. Berbagai peristiwa penting telah silih berganti muncul dan lenyap dalam pentas tlatah bBantul dan sekitarnya. Tidak dapat diingkari bahwa Bantul telah lama menjadi saksi terdekat kelahiran kerajaan Mataram yang berpusat di Kerta dan Pleret, didaerah yang kini menjadi tlatah kabupaten bantul. Di tanah ini pulah disaksikan kelahiran tokoh Senopati ing ngalaga, pendiri Mataram, anak Ki Pemanahan, dan juga kelahiran toko Sultan Agung, Raja besar Mataram, yang terkenal berjiwa patriotik dan Nasionaloistik, anti kehadiran kekuasaan asing. Sudah barang tentu Bantul tidak hanya menjadi saksi kelahiran kerajaan dan kiprah tokoh pimpinan negaranya, tetapi juga ikut serta dalam segala gerak dan terlibat dalam pergolakan-pergolakan yang terjadi dan kembalinya pusat pemerintahan kerajaan, dari Kerta – Pleret ke Kertasura, Surakarta, sampai lahirnya Kasultanan Yogyakarta, yang kembali berpusat di tempat yang tidak jauh dari bantul.

Kembali disaksikan munculnya toko pendiri kerajaan yang tangguh, Pangeran Mangkubumi, penerun generasi pemegang pemerintahan Kasultanan yang terkemuka hingga saat kini, yang terpatri dalam gelar Sultan Hamengku Buwana dari yang pertama hingga yang ke sepuluh, dan termasuk pula yang terpatri dalam gelar Sri Paku Alam dari yang pertama hingga yang ke delapan. Dari pemerintahan Kasultanan inilah pemerintahan kabupaten Bantul pada masa kemudian dilahirkan.

Patut disebutkan pula bahwa sebelum daerah Bantul menjadi saksi dan ajang kelahiraqn kerajaan seperti tersebut diatas disalah satu tempat di daerah ini diduga telah pernah menjadi tempat pemukiman nenek moyang kita pada masa purba. Tidak aneh kiranya, apabila ditanah subur ini pada masa-masa kemudian menjadi tempat kelahiran pedesaan agraris penurun generasi petani saka guru kerajaan atau negara yang dibangun kemudian. Dengan demikian tidak mustahil apabila jauh sebelum kerajaan Mataram lahir pada akhir abad ke 16, didaerah ini telah terdapat daerah pedesaan yang telah mengenal tata pemerintahan dan kemasyarakatan yang memadai.

Ada petunjuk bahwa masyarakat pedesaan pada masa itu telah hidup dalam lingkungan kesatuan-kesatuan desa di bawah kepemimpinan orang-orang terkemuka (Primus inter pares) dengan gelar yang terkenal “Ki Ageng” atau “Ki Gedhe”. Salah seorang di antara tok mangir, pendiri dan pemuka desa Mangiran dan sekitaranya, serta toko legendaris yang hidup semasa dengan senopati pendiri Mataram. Toko legendaris ini sempat terekam dalam babad bedahing mangir. Dari masa-masa itu pula kiranya sejumlah nama desa tertua memiliki asalnya, termasuk nama “Bantul” sendiri.

Selanjutnya secara singkat dapat dikemukakan, bahwa letak daerah Bantul yang dekat dengan istana kerajaan, membuat daerah ini sejak lama menjadi wilayah kerajaan Mataram yang secara langsung diperintah oleh pemerintah istana dan termasuk daerah Negara Agung dalam tata kenegaraan Mataram. Dalam Tata pemerintahan istana yang demikian itiu para pejabat yang bertugas mengurus daerah Bantul atau lainnya dalam hal ini para Bupati nayaka, semuanya masih tinggal dipusat kerajaan. Keadaan ini rupanya berlangsung terus sampai kerajaan mataram pecah menjadi dua bagian, kasunanan Suraqkarat dan Kasultanan Yogyakarta, setalah perjanjian Giyanti tahun 1755. Demikian juga pada masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, daerah wilayah Bantul secara administratif masih tetap ditangani lansung oleh pemerintahan istana Yogyakarta. aDa petunjuj bahwa pada masa itu daerah pedesaan Bantul dibagi-bagi menjadi sejumlah wilayah kademangan yang dipimpin para demang, pejabat daaerah yang menangani tugas penarikan pajak, upeti, atau tugas lain untuk istana. Keadaan macam ini terus berjalan sampai pecah perang Diponogoro (1825 – 1830) dan Sultan Hamengku Buwana V naik tahta (1822 – 1855)

Perang Diponogoro yang berkorban sejak tanggal 20 Juli 1825 dan berakhir pada bulan Maret 1830, telah melibatkan masyarakat didaerah kerajaan dan di daerah Jawa Tengah pada umumnya. Peperangan yang dikenal juga sebagai perang jawa (Java Oorlog) ini telah cukup menggoncangkan pemerintahan dan keadaan sosial ekonomi di kedua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Lebih-lebih pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V yang masih muda dan yang sehari-harinya dijalankan oleh walinya cukup mengalami tekanan baik dare situasi oerang sendiri maupun dari pihak Belanda. Perlu dicatat bahwa dalam awal berkorbarnya perang ini pasukan Diponogorto membuat markas besar dan benteng pertahanannya di Slarong, di wilayah Kabupaten Bantul sekarang ini, setelah pindah dari markasnya yang pertama di Tegalreja. Oleh sebab itu tidak adpat dipungkiri bahwa daerah Bantul pada saat itu secara langsung menjadi daerah medan pertempuran yang melibatkan hampir seluruh masyarakat di daerah pedesaan ini. Dari sumber sejarah dapat ditunjukan bahwa rakyat pedesaan Bantul yang berdiri dibelakang Diponogoro berhadapan langsung dengan pos pos pasukan Belanda yang dibangun di beberapa tempat didaerah Bantul. Dari sumber sejarah juga dapat ditunjukan bahwa prajurit Diponogoro yang gugur dalam pertempuran di sekitar daerah ini atau yang tertangkap di pihak Belanda sebagian bersal dari daerah Bantul. Dengan demikian daerah Bantul juga telah menjadi saksi pecahnya perang melawan penjajah Belanda di daerah kerajaan dan juga menjadi saksi lahirnya semangat juang dan kepahlawanan dari rakyatnya pada abad yang lalu.

Berakirnya perang Diponogoro pada sekitar bulan Maret 1830 membawa perubahan penting bagi peta kehidupan kerajaan Kejawen (Vorstenlanden). Pihak Belanda mempunyai alasan untuk memperluas jangkauan kekuasaan dan pengawasan pemerintahannya terhadap pemerintahan kedua kerajaan, Yogyakarta dan Surakarta beserta kawulanya di daerah pedesaan. Selain itu pemerintah Belanda juga mempunyai alasan untuk mempersempit dan mengecilkan daerah wilayah kedua kerajaan tersebut. Semuanya ini dapat dicapai oleh pemerintah Belanda dengan jalan memaksakan kehendaknya melalui penandatanganan kontrak- kontrak perjanjian antara kedua penguasa kerajaan Jawa, yaitu Sunan dan Sultan disatu pihak dan pemerintan Belanda yang diwakili oleh Residen setempat di pihak lain. Maka dari itu secara berturut-turut kontrak-kontrak yang penting di tanda tangani antara lain pada tanggal 22 Juni 1830, tanggal 27 September 183, tanggal 3 Nopember 1830 dan penetapan-penetapan lainnya pada tangal 26 dan 31 Maret 1831. Secara singkat dapat disebutkan bahwa akibat dari penandatanganan kontrak-kontrak itu antara lain adalah bahwa kedua kerajaan telah kehilangan wilayahnya di daerah Mancanegara. Pajang dan Sukawati dimasukan kw wilayah Kasunan dan Gunung kidul dimasukan ke wilayah Kasultana. Selain itu juga ditetapkan perlunya dilakukan reorganisasi atau pembagian wilayah administratif baru dengan berbagai peraqngkat pemerintahannya sesuai dengan kemauan pemerintahan kolonial. Diantaranya ialah tentang pembagian wilayah pemerintahan kabupaten (Regentshap) dengan pengangkatan kepala daeranya yaitu Bupati (Regent) pembentukan pengadilan daerah yang baru (Inlandsce Rebhtbank) di wilayah Kasultanan, penanganan keamanan oleh polisi ari pemerintah Belanda, dan pembagian wilayah administratif distrik dan pengangakatan kepala distriknya, yang kesemuanya harus persetujuan pihak Belanda. Rentetan pelaksanaan perubahan-perubahan penting ini di daerah Kasultanan Yogyakarta dilakukan pada tahun 1831.

Dalam rangka melaksanakan tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka Sultan Hamengku Buwana V melakukan usaha-usaha pembaharuan administrasi pemerintahan dan perangkat-perangkatnya secara bertahap sejak awal tahun 1831, yaitu sesudah diselesaikannya penandatanganan kontrak-kontrak pembahasannya dengan pihak penguasa kolonial, dan setelah situasi dan kondisi istana tenang kembali sesudah perang selesai. Pada saat itulah maka mulai dilakukan pembagian wilayah baru daerah Kasultanan Yogyakarta atas tiga wilayah kabupaten, yaitu : (1) Kabupaten Bantul Karang dibagian selatan (2) Kabupaten Dengung dibagian utara dan (3) kabupaten Kalasan dibagian timur. Pembagian wilayah ini diikuti dengan pengangkatan atau wisudawan Bupati sebagai kepala Daerah masing-masing. Kemudian juga dilakukan pengangkatan kepala distrik didaerah masing-masing dengan gelar Mantri, Tumenggung atau Rangga. Akhirnya Bantul menyaksikan peristiwa bersejareah yang penuh makna bagi dirinya dan putra generasi berikutnya yaitu ketika Sultan Hamengku Buwana V dalam pasewakan Agung mengumumkan da menetapkan pembentukan pemerintahan Kabupaten Bantul sebagai satu kesatuan wilayah administrasi baru, sekaligus mewisuda Tumenggung Mangunnegara sebagai Bupati Kepala Daerahnya, yaitu pada hari Rabu Kliwon, tanggal 20 Juli 1831. Dari sejak itulah lembara sejarah Kabupaten Bantul mulai terjadi. Mulai saat itu roda pemerintahan dan gerak masyarakatnya membenahi dan membangun kehidupan daerahnya, demi ketentraman dan kemakmuran masyarakatnya dalam berbagai segi kehidupan berjalan terus. Semangat juang dan kepahlawanan yang ditanam oleh perang Diponogoro tetap bersemi, tumbuh dan berkembang, serta diwariskan ke putra-putra generasi seterusnya, sekalipun perang Diponogoro telah lama ditinfggalkan. Demikianlah semangat kepahlawanan dari masa perang Diponogoro dan semangat pembangunan negara yang diwariskan oleh Senopati ing Ngalagah dan Sultan Agung di Kerta dan Pleret, Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwana I) di Yogyakarta, telah mendasari jiwa dan semangat putra-putri rakyat Bantul berperan serta dalam pembangunan Nasional, secara awal dimulai pada hari jadinya tanggal 20 Juli 1831 tersebut diatas.

0 komentar:

Posting Komentar

Theme Support

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Featured Video

Featured Video

Find Us On Facebook

Diberdayakan oleh Blogger.

Advertisement

Popular Posts